Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.
Aqidah Islam sangat memperhatikan perihal amalan hati. Hati merupakan asas bagi perbuatan. Baiknya hati membuahkan baiknya ucapan dan amal anggota badan. Oleh sebab itu termasuk kesalahan dalam beragama adalah ketika perhatian kepada amal lahiriah tidak disertai perhatian kepada amal batin. Sampai-sampai dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, bahwa hakikat takwa itu adalah ketakwaan hati, bukan sekedar ketakwaan anggota badan.
Diantara amalan-amalan hati ada tiga amalan yang paling utama dan menjadi dasar penggerak amal-amal lainnya. Ketiga amalan hati itu adalah cinta (mahabbah), takut (khauf), dan harapan (raja’). Sebagian ulama meringkas ketiga amalan hati ini menjadi dua; yaitu mahabbah dan ta’zhim (pengagungan). Mahabbah melahirkan harapan, dan ta’zhim menumbuhkan rasa takut.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)
Kedua amalan hati yang menjadi penyeimbang adalah rasa takut dan harapan. Dengan rasa harap seorang akan berusaha keras mengejar keridhaan Rabbnya. Dengan rasa takut seorang hamba akan menjauhi segala hal yang membuat murka Allah ta’ala. Dan rasa cinta ibarat kepala yang akan mengatur dan mengendalikan seluruh gerak-gerik tubuhnya. Sebagaimana seekor burung tidak bisa hidup tanpa kepala dan tidak bisa terbang kecuali dengan kedua belah sayapnya.
Cinta kepada Allah merupakan ruh dari segala ibadah dan ketaatan. Karena hakikat ibadah itu adalah melakukan apa-apa yang dicintai dan diridhai Allah. Ibadah tidaklah disebut ibadah kecuali apabila dilandasi kecintaan dan pengagungan. Ketika ibadah tidak muncul dari kecintaan maka ibarat tubuh tanpa nyawa. Oleh sebab itu Allah mencela kaum musyrikin karena mereka mengangkat sesembahan tandingan bagi Allah yang mereka cintai seperti cintanya kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sebagian manusia ada orang yang mengangkat selain Allah sebagai sekutu (sesembahan tandingan). Mereka mencintainya seperti cintanya kepada Allah, sedangkan orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah : 165)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan menggapai kebahagiaan dan kemenangan.” (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa dan tidak ada ruhnya sama sekali…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Maktabah al-‘Ilmu)
Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’ terkandung kecintaan. Karena Allah adalah Dzat yang mencurahkan nikmat dan Dzat yang mencurahkan nikmat itu dicintai sekadar dengan kenikmatan yang diberikan olehnya. Jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya. Sementara Allah adalah sumber segala nikmat dan karunia yang ada pada diri hamba. Oleh sebab itu wajib mencintai Allah dengan kecintaan yang tidak tertandingi oleh kecintaan kepada segala sesuatu. Karena itulah kecintaan menjadi salah satu bentuk ibadah yang paling agung (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 185)
Di dalam kalimat ‘ar-Rahmanir Rahiim’ terkandung harapan. Karena Allah adalah pemilik sifat rahmat/kasih sayang. Oleh sebab itu kaum muslimin senantiasa mengharapkan rahmat Allah (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 190)
Di dalam kalimat ‘maaliki yaumid diin’ terkandung rasa takut. Karena di dalamnya terkandung rasa takut terhadap hari kiamat. Oleh sebab itu setiap muslim merasa takut akan hukuman Allah pada hari kiamat (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 190-191)
Apabila terkumpul ketiga hal ini -cinta, harap, dan takut- di dalam ibadah maka itulah asas tegaknya ibadah. Adapun orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada salah satunya saja maka dia menjadi orang yang sesat. Orang yang beribadah kepada Allah dengan cinta belaka tanpa rasa takut dan harap maka ini adalah jalannya kaum Sufiyah yang mengatakan bahwa ‘kami beribadah kepada Allah bukan karena takut neraka atau mengharapkan surga, tetapi kami beribadah kepada-Nya hanya karena kami mencintai-Nya’. Cara beribadah semacam ini adalah kesesatan. Karena sesungguhnya para nabi dan malaikat sebagai makhluk yang paling utama merasa takut kepada Allah dan mengharap kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu adalah bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh rasa harap dan takut…” (al-Anbiyaa’ : 90) (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191)
Orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada harapan (roja’) maka dia termasuk penganut pemikiran Murji’ah yang hanya bersandar kepada harapan dan tidak takut akan dosa dan maksiat. Mereka mengatakan bahwa iman cukup dengan pembenaran dalam hati atau pembenaran hati dan diucapkan dengan lisan. Mereka juga mengatakan bahwa amal itu sekedar penyempurna dan pelengkap. Hal ini adalah kesesatan, karena sesungguhnya iman itu mencakup ucapan, amalan, dan keyakinan. Ketiga hal ini harus ada, tidak cukup dengan salah satunya saja (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191-192)
Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada rasa takut (khauf) maka dia berada di atas jalan kaum Khawarij yang beribadah kepada Allah hanya dengan bertumpu pada rasa takut. Sehingga mereka hanya mengambil dalil-dalil yang berisi ancaman (wa’iid) dan pada saat yang sama mereka justru meninggalkan dalil-dalil yang berisi janji (wa’d), ampunan, dan rahmat. Ketiga kelompok ini yaitu Sufiyah, Murji’ah dan Khawarij adalah kelompok yang ekstrim/ghuluw dalam beragama (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192)
Adapun jalan yang benar adalah beribadah kepada Allah dengan memadukan ketiga hal ini; cinta, harap, dan takut. Inilah iman. Inilah jalan kaum beriman. Inilah hakikat tauhid. Dan inilah yang terkandung dalam surat al-Fatihah. ‘alhamdulillah’ mengandung pilar kecintaan. ‘ar-rahmanir rahiim’ mengandung pilar harapan. Dan ‘maaliki yaumid diiin’ mengandung pilar rasa takut (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192)
Sumber Artikel : www.al-mubarok.com
Fanspage : Kajian Islam al-Mubarok
Twitter : @kajianmubarok
—
@ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK
Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737
atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro
Konfirmasi Donasi via SMS : Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah
Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000
Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa)
Informasi : www.al-mubarok.com
—